Bersama atau
berbeda dalam rahmat
Akan terasa indah dan menyenangkan jika gema takbir
di hari raya dapat bergema dalam satu kebersamaan umat Islam. Kaum muslimin di
suatu kawasan berbondong-bondong menuju tempat pelaksanaan shalat ied di hari
yang sama. Inilah kebersamaan yang menjadi salah satu wujud persatuan umat
Islam, suatu persatuan yang selama ini menjadi momok musuh Islam dalam menga-lahkan
Islam.
Bernard Louis seperti dikutip Dr. Said Ramadhan
al-Buthi dalam al-Jihad fi al-Islam mengatakan bahwa salah satu cara
mengalahkan Islam adalah dengan memecah belah umat Islam. Karena itu perbedaan
hari raya yang sering terjadi di kalangan umat Islam di Indonesia tentu menjadi
tontonan yang menye-nangkan bagi musuh Islam dan peman-dangan yang menyedihkan
bagi umat Islam.
Perbedaan 1 syawal yang sering menjadi titik
perbedaan dan dilihat sebagai perpecahan di kalangan umat Islam, haruslah
dihindari sedapat mungkin. Sebab, membiarkan umat memper-tentangkan penetapan 1
Syawal sama dengan memberi tontonan gratis bagi musuh Islam.
Berbeda bukan Bepecah belah
Perbedaan pendapat adalah hal yang pasti terjadi.
Sebab tidak pernah ada orang yang diciptakan sama persis dengan orang lain. Dan
perbedaan itu juga terjadi pada ulama terdahulu. Itulah yang kemudian
memunculkan mazhab-mazhab fiqih, seperti mazhab Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanbaliyah. Para Ulama terdahulu mensikapi perbedaan secara bijak. Yang
sholat shubuh tidak pakai qunut berjamaah dengan imam yang pakai qunut,
demikian pula sebaliknya. Yang sholat tidak membaca basmalah ketika fatihah
berjamaah di belakang imam yang mem-baca basmalah, demikian pula seba-liknya.
Sehingga perbedaan yang terjadi tidak menjadi perpecahan dan permu-suhan,
tetapi justru menjadi rahmat.
Saat ini kita juga sedang menghadapi kemungkinan
terjadinya perbedaan, yaitu perbedaan penetapan 1 Syawal bagi umat Islam di
Indonesia. Sebagian umat sudah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari selasa 30
Agustus 2011. Dan mungkin sebagian yang
lain menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Rabo 21 Agustus 2011. Tentu akan
sangat menggembirakan jika sampai terjadi perbedaan, perbedaan itu tidak
berujung perpecahan, tetapi menjadi rahmat sebagaimana dilakukan ulama-ulama
terdahulu.
Kemungkinan
adanya perbedaan itu ada karena :
1.
Belum adanya kesamaan pemaha-man oleh
muslim Indonesia bahwa Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Agama adalah
satu-satunya yang berhak menetapkan hari Raya (1 Syawwal)
2.
Adanya perbedaan metode pene-tapan awal
Syawal yang dianut seba-gian muslim Indonesia (ormas) deng-an metode yang
dipakai Pemerintah.
Adapun
macam-macam metode penen-tuan 1 Syawal yang berlaku di Indonesia dan sering
terjadi perbedaan hasil an-tara satu dengan yang lain, juga dengan pemerintah
adalah sebagai berikut:
1. Ru’yah
Bathiniyah/Terawangan
Ru’yah dengan menggunakan indera batin/terawangan, tanpa melihat
secara langsung pada Hilal (Bulan Sabit) dengan mata kepala atau alat.
Ru’yah jenis ini tidak sesuai dengan syari’at islam, karena yang
dimaksud dalam hadits nabi “Berpuasalah kalian karena melihat
hilal dan ber-idul fitrilah kalian karena melihat hilal” adalah melihat dengan
mata kepala, bukan dengan mata bathin.
2. Hisab Urfy
Adalah perhitungan bulan dengan sistem global dan pasti, seperti Aboge
dan Asapon serta hitungan lain yang tidak berdasar pada muncul atau tidaknya
hilal. Hisab jenis ini adalah hisab yang tidak bisa digunakan untuk menetapkan
awal Syawwal, bisa digunakan sebatas hanya ancar-ancar saja.
3. Ru’yah
tanpa mempertimbangkan Hisab.
Adalah metode pengamatan hilal secara langsung tanpa memper-timbangkan
apakah secara hisab sudah ada hilal atau belum, dan apakah hilal dapat dilihat
atau belum. Metode ini dapat menyebab-kan adanya perbedaan Hari Raya apabila
ada seseorang yang menga-ku telah melihat hilal, padahal me-nurut perhitungan
ilmu hisab dan sains modern yang mempunyai tingkat akurasi tinggi dikatakan
hilal tidak mungkin dapat dilihat baik dengan alat maupun mata telanjang.
Pemerintah dapat menolak penga-kuan ini, karena syarat pengakuan melihat hilal
diterima adalah adalah adanya kemungkinan melihatnya secara akal, kebiasaan dan
syara’. Tapi boleh juga pemerintah mene-rima pengakuan ini. sehingga me-munculkan
istilah Hilal Syar’i, yaitu pengakuan menyaksikan hilal pada saat hilal belum
mungkin atau bahkan mustahil diru’yat, namun sah digunakan sebagai dasar pene-tapan
isbat karena yang bersang-kutan bersedia disumpah dengan alasan demi
kemaslahatan ummat.
4. Hisab
Wujudul Hilal
Adalah metode perhitungan bulan dengan ilmu hisab/falak dan ilmu sains
modern, namun tidak mem-pertimbangkan apakah hilal bisa dilihat atau tidak.
Perhitungan jenis ini adalah jika setelah terjadi ijtima’, bulan terbenam
setelah terbenam-nya matahari maka malam itu di-tetapkan sebagai awal bulan
hijriyah tanpa mempertimbangkan berapa-pun sudut ketinggian bulan saat matahari
terbenam. Banyak yang mempertanyakan metode hisab ini, karena sesuai hadits
nabi:
« صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ » رواه
أحمد.
“Berpuasalah kalian karena
melihat hilal dan beridul fitrilah kalian karena melihat hilal, apabila kalian
terhalang dari melihatnya maka sempurnakanlah bulan menjadi tigapuluh hari.”
HR. AHMAD
Yang menjadi ukuran adalah apakah sudah melihat hilal atau belum, bukan
apakah sudah masuk bulan atau belum.
Sehingga sering perbedaan hari raya terjadi karena ada yang menggu-nakan
metode ini sedangkan hilal dalam posisi belum memungkinkan untuk dilihat.
5. Hisab
Imkanur Ru’yah
Adalah metode perhitungan bulan dengan ilmu hisab/falak dan ilmu sains
modern, dengan memper-timbangkan apakah hilal bisa dilihat atau tidak. Apabila
hilal memung-kinkan untuk dilihat maka awal bulan telah tiba, tetapi
sebaliknya, apabila hilal tidak mungkin dilihat maka awal bulan ditunda 1
(satu) hari. Pemerintah RI menetapkan bahwa hilal yang mungkin dapat dilihat
adalah ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang
dari 2 derajat.
Metode inipun bisa menimbulkan perbedaan Hari Raya apabila menu-rut
hisab bulan sudah memung-kinkan untuk dilihat, tapi kenyata-annya tidak ada
seorangpun yang melihat hilal.
6.
Berdasarkan penetapan Arab Saudi:
Pemerintah
Arab Saudi menetapkan Idul fitri berdasarkan Rukyatul Hilal. Kaidahnya
sederhana "Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih
pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup
sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu dilakukan uji sains
terhadap kebe-naran laporan tersebut".
Metode
ini sering menimbulkan terjadinya perbedaan Hari Raya yaitu ketika Pemerintah
Saudi menetapkan Hari Raya berdasarkan pada laporan rukyat dari seseorang.
Sedangkan
posisi hilal di Indonesia belum terlihat dan atau belum memungkinkan untuk
dilihat.
Melihat kenyataan di atas,
maka perbedaan hari raya tetap mungkin terjadi apabila muslim Indonesia (ormas)
menetapkannya secara sendiri-sendiri, apapun metode yang digunakannya. Terlepas
dari apakah metode yang digunakan benar atau salah, bahkan meskipun menggunakan
metode yang sama.
Jalan keluarnya adalah
dengan menem-patkan pemerintah sebagai satu-satunya yang punya otoritas untuk
menetapkan hari raya, serta mengikuti penetapan pemerintah ini dengan alasan :
1. Kewajiban untuk taat pada
pemerintah termasuk di dalamnya adalah dalam hal penetapan hari raya,
sebagaimana yang dikatakan Al Qurtubiy dalam tafsirnya. Selama penetapan itu
dengan cara yang benar, berdasarkan dalil QS: 4:59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2. Keputusan Hakim (pemerintah)
itu suatu ketetapan dan demi menghilangkan perbedaan.
حكم الحاكم الزام و يرفع الخلاف
BERSAMA ATAU HIKMAH
Kalau
tahun ini pada hari Senin (29/8) hilal berhasil dilihat dan pemerintah
menetapkan Hari Raya pada Selasa, Insya Allah kita akan bersamaan berhari raya pada
Selasa.
Apabila
hilal tidak terlihat atau klaim kesaksiannya ditolak, dan pemerintah menetapkan
hari raya pada Rabu, maka semestinya kita harus taat pada pemerintah.
Apabila ada yang
meyakini berdasarkan dalil yang bisa diterima bahwa 1 Syawal mendahului
pemerintah, maka ia diper-bolehkan berbeda dalam mengakhiri puasa, tetapi tidak
diperbolehkan melaksanakan sholat ied dan menggemakan takbir mendahului
ketetapan pemerintah, serta tidak diperbolehkan secara terang-terangan
memperlihatkan diri tidak berpuasa. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar Anda?