Kamis, 03 Mei 2012

BANYU PADASAN DICELUPI TANGAN, BAGAIMANA


ES NAJIS, BASAH-BASAH DI LUAR GELAS IKUT NAJIS ATAU TIDAK?
Deskripsi Masalah
Sudah kita maklumi, bahwa apabila kita membuat es teh di dalam gelas, maka setelah beberapa waktu, gelas bagian luar dan meja tempat gelas diletakkan akan basah, dan bahkan muncul airnya.
Pertanyaan:
Apabila yang ada di dalam gelas bukan sesuatu yang suci, tetapi benda yang najis seperti es teh yang kemasukan bangkai atau es arak atau es yang terciprati kencing sapi, najiskah basah-basah yang ada di luar gelas atau di atas meja tadi?  

Jawab :
Untuk mengetahui najis atau tidaknya basah-basah yang ada di luar gelas, maka yang harus kita cermati adalah dari manakah basah-basah tersebut. Kalau memang basah-basah itu dari dalam gelas yang memang najis, maka basah-basah di luar gelas juga najis. Tetapi kalau basah-basah di luar gelas bukan berasal dari dalam gelas, maka basah-basah tersebut tidak najis.
Sekarang, apabila memang gelasnya tidak tumpah dan tidak bocor, kemudian muncul basah-basah di luar gelas, maka harus kita kaji secara teoritis, bukan ilmu menowo atau sawangane, atau coro aku.
Dalam teori fisika dan kimia, disebutkan bahwa oksigen atau O2 apabila mengalami kelembaban akan berubah menjadi Hidrogen atau H2O.  Oksigen, kalau bahasa ndeso adalah howo. Sedangkan Hidrogen, bahasa Jowo-nya adalah banyu. Dengan kata lain, howo apabila mengalami kelembaban akan berubah menjadi banyu. Kelembaban itu sendiri dapat terjadi apabila udara di sekitarnya mengalami dingin seperti karena adanya es atau suhu yang rendah. Bila dalam kasus es yang najis tersebut, bahwa udara atau howo yang ada di luar gelas mengalami kelembaban karena pengaruh es yang ada di dalam gelas, sehingga udara atau howo atau oksigen tadi berubah menjadi Hidrogen atau H2O atau banyu.
Kesimpulannya, basah-basah yang ada di luar gelas bukanlah berasal dari air yang ada di dalam gelas, melainkan hasil perubahan dari Oksigen di luar gelas menjadi Hidrogen. Oksigen ataupun hidrogen yang di luar gelas, tidak terkontaminasi oleh barang najis yang berada di dalam gelas, sehingga konsek-wensinya, hukumnya tidak najis alias suci.
Referensi : Hasyiyah Qulyubi bab najis., Fisika, Kimia.

PADA PERMASALAHAN HADATS, Air Musta’mal dan AIR Mutaghoyyir, air yang bagaimana?
Deskripsi Masalah dan Pertanyaan:
Sebagaimana dalam madzhab kita, bahwa air musta’mal itu tidak sah dipakai wudlu. Demikian pula air mutaghoyyir. Lalu, air tersebut di atas itu air yang bagaimana?  

Jawab:
Dalam kitab-kitab Fiqh mu’tabaroh dijelaskan bahwa air musta’mal ada dua, yaitu Musta’mal Fi Rof’il Hadats dan Musta’mal Fi Izalatin Najasah. Pada paparan di bawah ini hanya seputar Musta’mal Fi Rof’il Hadats, yaitu air yang kurang dari dua qullah yang telah dipakai menghilangkan hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil, baik bekas basuhan anggota tubuh bagian atas ataupun bawah, yang merupakan rukun.
Dalam memahami ini, perlu pencer-matan yang mendalam. Air yang untuk menghilangkan hadats adalah air pada basuhan pertama, bukan basuhan kedua atau ketiga. Karena, basuhan kedua dan ketiga ini bukan dalam kapasitas menghilangkan hadats, tetapi merupakan kesunnatan.
Sebagai contoh, orang yang sedang menanggung hadats kecil melakukan wudlu. Anggota wudlu yang merupakan rukun adalah wajah, tangan kanan, tangan kiri, rambut kepala, kaki kanan, dan kaki kiri (mata kaki ke bawah). Semua anggota tubuh tersebut juga mempunyai bagian-bagian, yaitu ada bagian atas, bawah, samping kanan, dan kiri.
Air bekas basuhan leher atau pundak tidak berimbas pada ke-musta’mal-an air, karena bukan merupakan anggota wudlu. Yang menjadikan air bisa musta’mal hanyalah air bekas membasuh rukun.
Setelah basuhan wajah rata, dan diulangi membasuh lagi dengan basuhan kedua dan ketiga, maka bekas basuhan kedua dan ketiga ini tidak menjadikan air musta’mal, karena pembasuhannya bukan dalam kapasitas menghilangkan hadats-nya wajah, akan tetapi dalam kapasitas meraih kesunnatan.
Misalnya seseorang yang wudlu tersebut dengan mencelupkan wajah ke dalam jeding. Setelah itu, baru mengguyur wajahnya. Maka air bekas guyuran wajah ini bukan air musta’mal, karena guyuran ini adalah bukan air pertama yang dipakai menghilangkan hadats. Air pertama yang dipakai menghilangkan hadats adalah ketika wajah dicelupkan ke dalam jeding tadi. Dan, air jeding tersebut tidak terma-suk musta’mal, karena mencapai 216 liter.
Misalnya lagi, setelah membasuh wajah adalah membasuh tangan. Air musta’mal pada basuhan tangan ini adalah air yang telah dipakai menghilangkan hadats-nya tangan. Setelah basuhan tangannya rata, kemudian diulangi lagi dengan basuhan kedua dan ketiga, maka bekas basuhan kedua dan ketiga ini tidak disebut air musta’mal.
Misalnya lagi, setelah membasuh wajah, kita membasuh tangan. Dalam membasuh tangan ini, kita memilih yang dekat dengan siku terlebih dulu, padahal daerah pergela-ngan masih kering. Setelah bagian dekat siku rata, kita lalu membasuh bagian yang pergelangan tangan. Maka, basuhan pertama di pergelangan tangan terse-but menjadikan air musta’mal, karena terma-suk basuhan pertama dalam menghilangkan hadats, yaitu hadats-nya pergelangan. Jadi, basuhan itu dihitung basuhan pertama atau kedua, dengan mempertimbangkan setiap area yang dibasuh. Apabila area tersebut belum sempat dibasuh, maka basuhannya disebut basuhan pertama. Apabila area tersebut sudah terbasuh dan dibasuh lagi, maka basuhan ini disebut basuhan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Misalnya lagi, kita membasuh tangan dengan mencelupkan ke jeding. Setelah rata, baru kita angkat dan kita grojog dengan air. Maka air bekas grojogan tangan ini bukan merupakan air musta’mal, karena hadats-nya tangan sudah dibasuh ketika dicelupkan ke jeding pertama kali, sehingga air bekas grojogan ini menempati basuhan kedua atau ketiga.
Jadi, basuhan itu dihitung basuhan pertama atau kedua, dengan mempertimbangkan setiap area yang dibasuh. Apabila area tersebut belum sempat dibasuh, maka basuhannya disebut basuhan pertama. Apabila areanya sudah terbasuh dan dibasuh lagi, maka basuhan ini disebut basuhan kedua, ketiga, dan seterusnya. Dan ketentuan ini berlaku juga dalam mandi untuk menghilangkan hadats besar, bukan mandi biasa.
Dari misal-misal ini, semoga menjadikan gambaran tentang air yang bisa menyebabkan musta’mal. Kesimpulannya, air bisa disebut musta’mal apabila:
1.       Bekas basuhan pertama pada area anggota rukun wudlu atau mandi besar.
2.       Bekas terpakai untuk menghilangkan hadats. Jadi, air bekas tajdidul wudlu’ (melakukan kesunnatan pengulangan wudlu ketika belum batal) bukan disebut air musta’mal karena bukan bekas menghilangkan hadats.
3.       Volume air kurang dari dua qullah (216 liter).
Dengan demikian, padasan (tempat wudlu-nya orang Jawa) yang biasanya diisi air dengan menimba air dari sumur, seandainya waktu akan menuangkan air dalam timba ke padasan, tangan kita tercelup ke dalam timba tersebut, maka tidak mengubah status air timba dan air padasan, sehingga tetap sah dipakai berwudlu. Dan juga misalnya, air padasan yang biasanya dipakai berwudlu kita celupi tangan kita, itupun tetap suci dan men-sucikan, sehingga boleh dipakai berwudlu.
Apabila ada air bersih yang kurang dari dua qullah (216 liter) tercampur dengan air musta’mal, maka air yang kurang dari 216 liter tersebut dapat terkontaminasi dengan air musta’mal ini. Misalnya, air yang telah kita pakai membasuh wajah pertama kali menciprat ke air dalam timba, maka air dalam timba tersebut, apabila kurang dari 216 liter, dapat juga terkontaminasi sehingga tidak lagi disebut air mutlaq, tetapi disebut air mutaghoyyir (air yang terkontaminasi), yaitu air yang telah berubah. Namun, perubahan ini masuk kategori perubahan abstrak (taqdiri).
Di dalam Hasyiyah Al Bajuri, diterangkan bahwa air mutaghoyyir itu terbagi dua, yaitu berubah yang bisa dibuktikan melalui panca indra (mutaghoyyir chissi), dan ada juga yang berubah dengan perkiraan (mutaghoyyir taqdiri) yaitu seperti air yang tercampur dengan air musta’mal.
Air dalam timba yang terciprati air musta’mal tersebut, kita kira-kirakan, andai saja air musta’mal yang men-campurinya tersebut adalah tinta hitam, dan bisa menjadikan air dalam timba berubah warna, maka air dalam timba tersebut disebut air mutaghoyyir (air yang terkontaminasi). Tetapi seandainya tidak sampai mengubah warna air timba (misal-nya karena air musta’mal yang mencam-puri hanya setetes kecil, dan volume air agak banyak), maka air dalam timba tersebut tetap dihukumi air muthlaq, dan boleh dipakai bersuci.
Jadi kesimpulannya:
1.       Air musta’mal adalah air kurang dari dua qullah (216 liter) dan bekas dipakai bersuci.
2.       Air sedikit yang tercampur dengan air musta’mal harus dikira-kirakan dahulu, sifat air berubah atau tidak.
3.       Air sedikit yang tercampur dengan air musta’mal dan sampai mengubah sifat air, maka disebut air mutaghoyyir
4.       Air Musta’mal dan Air Mutaghoyyir tidak sah dipakai bersuci.
5.       Air musta’mal yang mencapai dua qullah (216 liter), menjadi air muthlaq.
6.       Air Musta’mal Fi Rof’il Hadats tetap dihukumi suci, tetapi tidak bisa mensucikan.

Adapun penjelasan air Musta’mal Fi Izalatin Najasah atau Air Musta’mal yang bekas dipakai menghilangkan najis, berikut permasalahan-permasalahnnya, akan kami bahas di lain kesempatan.
Referensi: Taqrib, Fathul Qorib, Al-Bajuri.

(Materi berdasarkan pertanyaan.
Dijabarkan oleh Turmudzi, S.H.I.
Lulusan MGS Sarang-Rembang, 2002,
F. Syari’ah IAI-Al Aqidah  Jakarta, 2010,
Cokrowati, Tambakboyo, Tuban)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa komentar Anda?

Apa yang kurang dari Blog ini?

FAS TAMBAKBOYO