AMALAN DI BULAN SYA'BAN
Banyak orang meyakini bahwa bulan Sya’ban, terutama
malam nishfu Sya’ban, merupakan saat yang memiliki fadlilah
tersendiri. Karena itu, banyak orang melakukan amalan-amalan di bulan tersebut
dengan maksud mendapatkan pahala yang lebih bayak. Amalan-amalan yang dilakukan
beraneka ragam, mulai dari hal-hal yang bebentuk ibadah seperti puasa, dzikir
dan berdoa; sampai hal-hal yang tidak bebentuk ibadah seperti membuat ketupat,
membuat serabih; bahkan hingga hal-hal yang berbentuk maksiat.
Keutamaan Bulan Sya’ban
Menurut Islam, bulan Sya’ban memang memilki
keistimewaan. Diceritakan dalam hadits shohih bahwa Usamah bin Zaid bertanya,”Ya
Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa di suatu bulan sebagaimana engkau
berpuasa di bulan Sya’ban”. Rasulullah menjawab, “Itu (bulan Sya’ban)
bulan yang dilalaikan manusia diantara bulan Rajab dan Ramadhan. Itu bulan
dimana amal perbuatan (manusia) dilaporkan kepada Tuhan semesta alam. Karena
itu aku menginginkan amal perbuatanku dilaporkan dalam keadaan aku sedang
berpuasa”. (An-Nasa’iy:2317).
Secara khusus, malam nishfu Sya’ban juga
disebutkan dalam hadits shohih sebagai malam yang memiliki keutama-an.
Rasulullah Bersabada, “Sesungguh-nya Allah memandang (dengan kasih sayang)
kepada makhluknya pada malam nishfu Sya’ban, lalu mengampuni seluruh
makhluknya kecuali orang musyrik dan orang-orang yang ber-musuhan”. (Ibnu
Majah: 1380). Versi lain menyebutkan bahwa pada malam nishfu Sya’ban
Allah mengampuni seluruh hamba-hambanya kecuali dua golongan, yaitu orang orang
yang bermusuhan dan pembunuh. (Ahmad:6352).
Amalan-Amalan
Yang Dianjurkan di Bulan Sya’ban
Di bulan Sya’ban umat Islam disunnah-kan
memperbanyak puasa. Aisyah berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah berpuasa
sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak melihat Rasulullah
berpuasa lebih banyak dari berpuasa di bulan Sya’ban”. (Bukhori: 1833).
Hadits ini menggambarkan bagaimana puasa Rasulullah dalam satu tahun. Pada
bulan Ramadhan Rasulullah berpuasa satu bulan penuh. Dan selain bulan Ramadhan,
Rasulullah juga ber-puasa, tetapi yang paling banyak adalah pada bulan Sya’ban.
Tidak terdapat ketentuan jumlah hari dalam bulan
Sya’ban dimana seseorang dianjurkan berpuasa. Selama bulan Sya’ban, seseorang
boleh berpuasa hanya satu hari dan sudah mendapatkan keutamaan berpuasa bulan
Sya’ban, boleh lebih dari satu hari, bahkan boleh berpuasa sebulan penuh dan
bersam-bung dengan puasa bulan Ramdhan. Sebab, sebagaimana dituturkan Aisyah,
Rasulullah juga pernah berpuasa Sya’ban sebulan penuh. (Bukhori:1834).
Yang lebih penting bukanlah berapa hari seseorang
melakukan puasa Sya’ban, tetapi seberapa mampukah seseorang melaksanakan puasa
tanpa memaksakan diri dan seberapa mampukah seseorang merutinkan puasanya.
Jadi, jika sese-orang hanya mampu melaksanakan puasa Sya’ban hanya satu hari,
maka satu hari lebih baik dari pada lebih satu hari tetapi dengan memaksakan
diri. Demikian pula puasa satu hari, tetapi dilaksanakan rutin setiap bulan
Sya’ban, lebih baik dari pada puasa lebih dari satu hari tetapi bulan Sya’ban
tahun berikutnya tidak puasa lagi. Rasulullah bersabda, “Ambillah amal yang
kalian mampu melaksanakannya, karena se-sungguhnya Allah tidak ‘bosan’ hingga
kalian bosan. Dan shalat yang paling disukai Nabi adalah shalat yang dirutinkan
meskipun sedikit”. (Bukhori:1834, Muslim: 1302).
Tetapi, tentu saja berpuasa sebulan penuh lebih
utama ketimbang puasa sepuluh hari, puasa sepuluh hari lebih utama ketimbang
puasa lima hari, jika semuanya dilakukan sesuai kemampuan dan tanpa memaksakan
diri serta dilakukan secara rutin.
Demikian pula, tidak ada hari paling utama untuk
melakukan puasa Sya’ban. Seluruh hari dalam bulan sya’ban memiki derajat
keutamaan yang sama. Jadi berpuasa pada tanggal satu sama derajat keutamaannya
dengan puasa pada tanggal 15.
Terkait dengan tanggal, yang terpenting diketahui
adalah bahwa berpuasa pada separoh terakhir bulan Sya’ban, yaitu tanggal 16
sampai dengan 30, hukumnya haram, kecuali jika puasa pada hari-hari tersebut
bertepatan dengan puasa yang sudah rutin dijalankan.
Jadi, jika seseorang hendak berpuasa di bulan
Sya’ban, maka ia tidak boleh ber-puasa pada tanggal 16 atau sesudahnya, kecuali
dalam kasus-kasus berikut:
Jika seseorang sudah berpuasa sebelum tanggal 16,
maka ia diper-bolehkan berpuasa pada separoh ter-akhir bulan Sya’ban. Misalnya,
pada tanggal 15 atau sebelumnya sese-orang telah berpuasa Sya’ban, maka ia
diperbolehkan berpuasa pada tanggal 16 dan sesudahnya.
Jika pada tanggal 16 atau sesudahnya bertepatan
dengan hari dimana seseorang telah rutin menjalankan puasa, maka ia diperbolehkan
men-jalankan puasa pada tanggal terse-but. Misalnya, seseorang rutin men-jalankan
puasa Senin dan kebetulan hari tersebut jatuh pada tanggal 16, 23 dan 30
Sya’ban, maka ia diperbo-lehkan berpuasa pada tanggal-tanggal tersebut.
Jika seseorang memiliki hutang puasa, maka ia
diperbolehkan mem-bayar (mengqodlo’) puasa tersebut pada separoh terakhir bulan
Sya’ban. Misalnya, pada tahun 1430_H. sese-orang meninggalkan puasa karena
udzur dan hingga tanggal 15 Sya’ban tahun 1432 ia belum membayarnya, maka ia
diperbolehkan mengqodlo’ puasanya pada tanggal 16 Sya’ban atau sesudahnya.
Mengisi Malam Nishfu Sya’ban dengan Dzikir
dan Doa
Pada malam nishfu Sya’ban umat Islam
dianjurkan untuk menghidupkannya dengan melakukan dzikir dan doa. An-Nawawi
berkata bahwa as-Syafi’iy dan pengikutnya berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu
Sya’ban dengan dzikir dan doa termasuk sun-nah, meskipun hadits yang
digunakan sebagai dasar lemah. Sebab dzikir dan do’a pada malam nishfu
Sya’ban merupakan keutamaan amal (fadloilul a’mal) dan hadits dho’if bisa
dijadikan dasar untuk hal-hal yang bersifat keutamaan amal. (An-Nawawy dalam Majmu’,
5:43)
Mengisi malam nishfu Sya’ban bisa dilakukan
dengan membaca Yasin, Tahmid, Tasbih, Takbir, Istighafar atau dzikir dan doa
lain. Tidak ada bacaan dzikir ataupun doa tertentu yang dianjurkan pada malam nishfu
Sya’ban. Jadi, membaca Yasin sama besar pahalanya dengan membaca tasbih
atau bacaan dzikir yang lain.
Diantara bacaan-bacaan yang dilakukan ulama adalah:
Surat Yasin
لاَاِلَهَ اِلَّا اَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّي كُنْتُ مِنَ
الظَّالِمِيَن
اللَّهُمَّ يَا ذَالمَنِّ وَلاَ
يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذَالجَلَالِ وَالاِكْرَامِ يَا ذَا الطَّوْلِ وَالْاِنْعَامِ
لَااِلَهَ اِلَّا اَنْتَ ظَهْرَ اللَّاجِيْنَ, وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ, وَمَأْمَنَ
الْخَائِفِيْنَ, اللهم اِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِيْ عِنْدَكَ فِي اُمّ الْكِتَابِ شَقِيًّا
اَوْ مَحْرُوْمًا اَوْ مَطْرُوْدًا اَوْ مُقْتَرًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ فَامْحُ
اللهم بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَ حِرْمَانِي وَطَرْدِيْ وَإِقْتَارِ رِزْقِي وَأَثْبِتْنِي
عِنْدَكَ فِي اُمِّ الْكِتَابِ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ
قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِي كِتَابِكَ الْمُنَزَّلُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ
الْمُرْسَلِ (يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ اُمُّ الْكِتَابِ).
اِلَهِيْ بِالتَّجَلِّي اْلاَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ
الْمُكَرَّمِ الَّتِي يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍ وَ يُبْرَمُ. اَنْ تَكْشِفَ
عَنَّا مِنَ الْبَلاَءِ مَا نَعْلَمُ وَ مَا لاَ نَعْلَمُ. وَمَا اَنْتَ بِهِ اَعْلَمُ
اِنَّكَ اَنْتَ الْاَعَزُّ اْلاَكْرَمُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Demikian pula, tidak terdapat hitungan tertentu
yang dianjurkan dalam dzikir atau doa malam nishfu Sya’ban.
Bacaan-bacaan tersebut bisa dibaca sekali, dua kali atau berapapun. Prinsipnya,
semakin banyak seseorang membaca dzikir pada malam nishfu Sya’ban,
semakin besar pahalanya dan semakin besar pula keutamaan yang diperoleh.
Amalan Bulan Sya’ban yang tidak
diperbolehkan
Melakukan sholat nishfu Sya’ban yang
biasanya berjumlah 100 rakaat dan di-lakukan dengan cara-cara tertentu adalah
bid’ah munkaroh. Karena itu tidak boleh dilakukan. Hadits-hadits yang
membicarakan amalan tersebut semuanya tidak bisa dipertangungja-wabkan. (An-Nawawy dalam Majmu’, 4:56).
Termasuk bid’ah munkaroh yang tidak boleh
dijalankan adalah memasang ketupat di pintu rumah dan menyala-kan obor di
sepanjang jalan menuju ru-mah dengan keyakinan bahwa ketupat dan
obor tersebut bisa menjadi pe-tunjuk jalan bagi arwah nenek moyang yang akan
pulang di bulan Sya’ban.
Amalan Mubah Di Bulan Sya’ban
Adapun membuat ketupat atau kue apem seperti
tradisi di beberapa daerah yang dilakukan di bulan Sya’ban merupakan amalan
mubah. Amalan-amalan tersebut tidak berhubungan dengan ibadah. Dan kalaupun
diting-galkan juga tidak mendapat dosa. Tetapi jika membuat makanan-makanan
tersebut dimaksudkan untuk sedekah, maka hal itu dapat menda-tangkan pahala
bersedekah.
@Tim Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar Anda?