ILMU TAJWID, ILMU LANGIT YANG TAK
DIANGGIT
Pendahuluan
Mungkin judul di atas dinilai terlalu berlebihan, ekstrim, mengada-ada,
atau tidak sesuai dengan isi tulisan ini. Namun dalam kesempatan kali ini
sengaja topik tersebut saya kemukakan, untuk bahan perbandingan dalam
muroja’ah, atau sebagai modal untuk berta’allum dalam membaca Al-Qur’an bagi
yang belum menguasai prakteknya.
Kalau boleh saya menyebut, 85% santri di Tambakboyo telah
menguasai disiplin ilmu tajwid. Idhar, Idghom, Ikhfa’, Iqlab, dan hukum-hukum
bacaan lain telah hafal di luar kepala. Namun, dengan sangat terpaksa juga saya
harus mengatakan, bahwa dalam 85% santri Tambakboyo tersebut, hanya 4% yang
mampu dan mau mempraktekannya. Pendeknya, 95% santri tidak menerapkan tajwid
dengan benar dalam membaca Al-Qur’an. Saya menyimpulkan demikian, karena
berdasar pada survey di tiap masjid pada saat tadarrus di bulan Romadlon.
Mungkin
ada anggapan bahwa apa yang saya ungkapkan ini engkek[1], dan mungkin juga ada celetukan:
“Ah, saya juga sudah menggunakan tajwid dalam setiap membaca Al-Qur’an.
Sejak kecil saya kan sudah belajar mengaji. Guru ngaji saya juga tidak pernah
menyalahkan saya. Berarti saya ini sudah benar.” Namun, tidak ada
salahnya bila kita mengoreksi bacaan Al-Qur’an kita dengan standart
benar-salahnya bersumber dari kitab-kitab mu’tabaroh[2],
dan bukan mengacu pada “Tidak Ada Yang Menyalahkan Bacaan Saya,
Berarti Saya Sudah Benar.”
Wajib Menerapkan Ilmu Tajwid
Tidak ada satu Ulama’ pun
yang mengatakan bahwa hukum menerapkan ilmu tajwid adalah tidak wajib. Artinya,
hukum menerapkan tajwid adalah wajib bagi setiap orang yang sedang membaca
Al-Qur’an. Hal ini juga sesuai dengan ketika Sayyidina Ali Bin Abi Tholib
dimintai penjelasan mengenai ayat WAROTTILIL QUR’ANA TARTILAN, beliau menjawab
bahwa TARTIL adalah menerapkan tajwid dalam setiap huruf, serta mengetahui
seluk beluk waqof[3]. Disebutkan
dalam kitab Ahkamut Tajwid berikut ini:
حكمه : (أ)
حُكْمُ تَعَلُّمِه فرضُ كِفَايَةٍ،
فإذا قام به البعض سقط عن الآخرين.
(ب) حُكْمُ تطبيقه هو فرضُ عَيْنٍ لمَنْ يقرأ
القرآن، حيث يجب أن يعرف الأداء الصحيح عن طريق المشافهة.
Hukum wajib ini bisa
dimaklumi, karena pada suatu ketika ada hal-hal yang dapat mengubah arti/makna
Al-Qur’an apabila tidak menerapkan disiplin ilmu tajwid.
Sebagai contoh, kesalahan dalam
menerapkan tajwid dapat membelokkan arti kata, antara lain:
kata خُذُوْا menjadi خُظُوا
kata اَعُوْذُ menjadi اَعُوْظُ
kata مُسْتَقَرٌّ menjadi مُصْتَقَرٌّ
kata اِصْبِرُوْا menjadi اِسْبِرُوْا
Dan lain-lain.
Pembaca Al-Qur’an yang tidak
sesuai dengan ilmu tajwid dalam setiap bacaannya, maka disebut Lahn (لـحن), sebagimana disebutkan di
dalam Ahkamut Tajwid (saya ringkas) berikut ini.
اللحن هو الخطأ والإنحراف والميل عن الصواب، وهو قسمان، اللحن الجلي
واللحن الخفي. اللحن الجلي هو خطأٌ يطرأ على اللفظ فيُخِلُّ بعُرْفِ القراءة ومبنى
الكلمة،سواء أخلَّ بالمعنى أم لم يُخِلّ. اللحن الخفي هو خَلَلٌ يطرأ على الألفاظ فيُخِلُّ بالعُرْفِ ولا يُخِلُّ
بالمبنى، سواء أخَلَّ بالمعنى أم لم يُخِلّ به،
وهو نوعان، (1) نوعٌ يعرفه عامة القراء، مثل ترك الإدغام في مكانه، وترقيق
المُفَخَّم، وتفخيم المُرَقَّق، ومَدُّ المقصور، وقصر الممدود، وغير ذلك مما يخالف
قواعد التجويد. وهذا اللَّحْنُ مُحَرَّمٌ بالإِجمَاع. (2) نوعٌ لا يعرفه إلا
المَهَرَة من المُقْرِئِين، مثل تكرير الراءات، وترعيد الصوت بالمد والغُنَّة،
وزيادة المد في مقداره أو إنقاصه، وغير ذلك مما يُخِلُّ باللفظ ويَذْهَبُ
بِرَوْنَقِهِ. وهذا اللحن ليس بمُحَرَّمٍ؛ حيث إنه يحتاج إلى مهارة فائقة وذوق
رفيع لا يتوفر عند الكثيرين. ولكن ينبغي المجاهدة والتمرين لإتقانه.
Materi Dasar Ilmu Tajwid.
Dijelaskan di dalam kitab-kitab mu’tabaroh, bahwa objek tajwid
antara lain adalah memberikan hak-hak huruf. Dan hak-hak huruf ini antara lain:
A. Makhroj Huruf
Makhroj adalah tempat membunyikan
huruf, dan bisa saya pastikan semua pembaca Al-Qur’an telah menguasai
prakteknya.
B. Sifat Huruf
Sifat Huruf ini ada banyak, namun ada beberapa sifat yang saya
rasa sangat penting untuk diketahui lebih dulu, yaitu ISTI’LA’ dan ISTIFAL.
Isti’la’ adalah sifat huruf yang menempel pada huruf yang suara
ketika berfat-hah adalah “O”, yaitu خ – ص – ض – ط – ظ – غ - ق
sedang Istifal adalah sifat huruf yang menempel pada huruf yang
suara ketika berfat-hah adalah “A”.
Huruf-huruf di atas, adalah huruf yang ketika di-fathah berbunyi
“O”, yaitu Kho, Sho, Dlo, Tho, Dho, Gho, dan Qo. Untuk memudahkan mengingat,
katakanlah bahwa huruf-huruf tersebut adalah huruf MECOCO atau MECUCU. Huruf
Isti’la’ atau Mecoco tersebut, baik difathah, dikasroh, didlommah, atau disukun
tetap harus menyertakan mecucu dulu, karena mecucu ini adalah sifat huruf
isti’la’ tersebut. Untuk huruf Ro’ meskipun terbaca O, tetapi ada aturan
tersendiri.
Sering diterangkan di kitab-kitab salaf mu’tabaroh, bahwa
mendalami tajwid harus secara musyafahah atau menunjukkan keadaan bibir pada
guru untuk dikoreksi. Jadi, belajar tajwid hanya dengan tulisan termasuk
tulisan di TANBIH ini, adalah kurang sempurna, karena tidak ada koreksi dari
guru.
Contoh huruf-huruf isti’la’ di atas antara lain sebagai berikut:
Dilafalkan Benar
|
Dilafalkan Salah
|
اَطِيْعُوا
اللهَ
|
اَتِيْعُوا
اللهَ
|
وَالطِّبَاقْ
|
وَالتِّبَاقْ
|
إِنْ
كُنْتُمْ
|
إِنْ
كُنْطُمْ
|
مِنَ
الْغَيْظ
|
مِنَ
الْغَيْذْ
|
خُذُوْا
|
خُظُوْا
|
وَبِئْسَ
الْمَصِيْر
|
وَبِئْسَ
الْمَسِيْر
|
اِهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم
|
اِهْدِنَا
السِّرَاطَ الْمُصْتَكِيْم
|
Contoh اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم agak sedikit
mengkhawatirkan, karena berhubungan dengan bacaan wajib yang menentukan sah
atau tidaknya sholat seseorang. Meng-hilangkan mecucu pada huruf Shod
menjadikan perubahan huruf Shod menjadi Siin, dan mecucu ketika melafalkan Siin
dapat menjadikan perubahan Siin menjadi Shod. Sehingga bisa berbunyi
اِهْدِنَا
السِّرَاطَ الْمُصْتَكِيْم.
Disebutkan dalam ilmu tafsir, bahwa ada salah satu qiro’ah di luar
Qiro’ah Sab’ah yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melafadhkan السِّرَاطَ (pakai Siin) ketika membaca Al-Fatihah. Mungkin itu bisa kita jadikan
acuan untuk tidak menyalahkan orang lain yang membaca
اِهْدِنَا
السِّرَاطَ
(dibaca tanpa mecucu dulu/melafalkan Siin).
Namun sepanjang pengetahuan saya tidak ada satu qiro’ah-pun yang
meriwayatkan bahwa Nabi ketika membaca Fatihah pernah membacaالمصْتقيم (pakai Shod). Sehingga,
tidak ada alasan bagi kita untuk membenarkan seseorang yang melafalkan
اِهْدِنَا السِّرَاطَ المصْتقيم dalam
fatihahnya.
Hal ini dapat kita petik pelajaran, bahwa kita harus berhati-hati
dalam membaca Al-Qur’an atau Al-Fatihah, karena rawan terhadap perubahan makna,
yang tentunya dapat menyebabkan batalnya sholat tanpa kita sadari, atau
menerima la’nat Al-Qur’an yang kita baca dengan ngawur.
Dalam contoh غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ yang ada غْ yang mestinya kita lafalkan dengan mecucu agar sesuai dengan sifat غْ, namun ketika kita baca tanpa
mecucu, hal itu tidak sampai mengubah arti qur’an sehingga tetap tidak
mempengaruhi sah/tidaknya sholat. Akan tetapi, meskipun tidak sampai
yughoyyirul ma’na dan tidak menjadikan sholat kita bathal, hal itu tetaplah
berdosa karena tidak menerapkan sifat huruf غْ sebagaimana yang telah
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Berikut ini perbedaan dan persamaan Makhroj Siin dan Shod:
الصاد:
تخرج من طرف اللسان بضغط اللسان على ما فوق اتصال الثنيتين باللثة من
أعلى.
|
السين:
تخرج من طرف اللسان بضغط اللسان على ما فوق اتصال الثنيتين باللثة من
أسفل.
|
Yang membedakan
keduanya
hanya
أسفل dan أعلى
yaitu Istifal dan Isti’la’,
atau Mecece dan Mecoco
|
Sebagaimana yang saya singgung di atas tentang huruf mecucu (isti’la’),
ada hukum khusus pada Ro’ (ر).
Ro’ yang mecucu disebut Ro’ Tafkhim, sedangkan Ro’ yang mecece
disebut Ro’ Tarqiq. Tidak semua huruf Ro’ itu dibaca mecucu. Dalam contoh (الْمَصِيْر) itu huruf Ro’ tidak terbaca
dengan posisi mecucu. Apabila mecucu, berarti telah melakukan kesalahan
meskipun tidak sampai mengubah arti Qur’an.
تفخيم الراء وهي أن تكون :
(1) مفتوحة كما في:(رَاضِيَة ، الرَّاحِمِيْن) و (رَبَت ، الرَّحمن)،
(2) مضمومة كما في: (الرُّوْم ، بِرُوْحِ القُدُس) ، و (رُبَمَا ، رُحَمَاء)، (3) ساكنة
وما قبلها مفتوح،كما في: (مُزْدَجَر). او مضموم، كما في: (مُرْتَاب ، مُرْسَاهَا)
، (4) ساكنة وقبلها ألف المد،كما في: (النَّارْ، الغَفَّارْ)، او واو المد، كما
في: (غَفُورْ ، كَفُورْ) ، (5) ساكنة وقبلها ساكن وقبله مفتوح،كما في قوله تعالى:
(وَالفَجْرْ.ولَيَالٍ عَشْرْ.) او قبله مضموم،كما في: (صُفْرْ ، كُفْرْ). (6) ساكنة وقبلها كسر
أصلي وبعدها حرف استعلاء غير مكسور،كما في (قِرْطَاس، مِرْصَاد). (7) ساكنة وقبلها كسر
عارض،كما في: ... (ارْجِعِي ، ارْحَمْهُمَا).
ترقيق الراء، وهي أن تكون:
(1) مكسورة مطلقاً، سواء كان بعدها ياء كما في: (تَجْرِي)،أو ليس بعدها ياء كما في:
(الغَرِمِين). (2) ساكنة وقبلها كسر
أصلي،وليس بعدها حرف استعلاء، كما في: (فِرْعَوْن).
(3) ساكنة وقبلها ياء المد، كما في: (قَدِيرْ
، بَصِيرْ). او ياء اللين، كما في: (خَيْر ، ضَيْر).
(4) ساكنة وقبلها ساكن (على ألاَّ يكون حرف
استعلاء) وقبله مكسور، كما في: (حِجْرْ، السِّحْرْ).
(5) أن يأتي بعدها ألف مُمَالَة، وهذه لا توجد في القرآن إلا قي
كلمة: (مَجْرَاهَا) في قوله تعالى: (...بِسْمِ الله مَجْرَاهَا وَمَرْسَاهَا...) ... (سورة هود: الآية 41).
جواز الترقيق والتفخيم، وهي أن تكون:
(1) ساكنة وقبلها حرف استعلاء ساكن وقبله مكسور، كما في: (مِصْر ،
القِطْر). (2) ساكنة وقبلها كسر
أصلي وبعدها (في نفس الكلمة) حرف استعلاء مكسور ، كما في: (فِرْقٍ). (3) ساكنة بسبب
الوقف،ومكسورة عند الوصل،وبعدها ياء محذوفة،كما في: (يَسْرِ،نُذُرِ).[4]
Ro’ yang dibaca mecucu alias tafkhim, adalah sebagai berikut:
· Berharokat Fathah: رَبَت ، الرَّحمن
· Berharokat Dlommah : الرُّوْم
بِرُوْحِ رُبَمَا رُحَمَاء
·
Berharokat Sukun yang didahului harokat fathah atau dlommah :
فَأَرْسَلَ فَأُرْسِلَ
·
Berharokat Sukun yang didahului Alif atau Wawu Mad, وَهِيَ تَفُوْر – يَسَار
·
Berharokat sukun dan dua huruf sebelumnya berharokat Fathah
Sukun atau Dlommah Sukun.
وَالفَجْرْ.ولَيَالٍ عَشْرْ. صُفْرْ، كُفْرْ
·
Berharokat sukun yang didahului kasroh asli, dan setelah Ro’
berupa huruf isti’la’.لَبِالْمِرْصَادِ
·
Berharokat sukun yang didahului kasroh ‘ARIDL (untuk memulai bacaan pada hamzah washol). اِرْجِعِي ، اِرْحَمْهُمَا
Ro’ yang dibaca meringis alias tarqiq, adalah sebagai berikut:
·
Berharokat kasroh وَسَارِعُوْا
·
Berharokat sukun yang didahului harokat kasroh, dan huruf sebelum RO’ ini bukan huruf Isti’la’: مِرْفَقَا
·
Berharokat Sukun yang didahului Ya’ sukun خَيْر-يَسِيْر
·
Berharokat
Sukun, dan didahului oleh huruf non Isti’la’ yang berharokat Sukun, dan sebelum
huruf non isti’la’ ini berharokat kasroh: حِجْرْ، السِّحْرْ
·
Jatuh
sebelum Alif Mumalah. Di Al-Qur’an hanya ada satu kata, yaitu : مَجْرَاهَا
Ro’ yang boleh dibaca meringis alias tarqiq, dan boleh dibaca
mecoco alias tafkhim adalah sebagai berikut:
·
Ro’
yang terletak setelah huruf Isti’la’ yang berharokat sukun, dan huruf Isti’la’ ini terletak setelah kasroh مِصْر ، القِطْر
·
Ro’
sukun yang terletak setelah kasroh asli, dan sebelum huruf isti’la’: فِرْقٍ
·
Ro’
kasroh yang diwaqofkan, dan terletak sebelum ya’ mahdhufah: يَسْرِ،نُذُرِ
C. Hukum Bacaan
Kalau teori bacaan, saya kira semua sudah hafal di luar kepala.
Tetapi menerapkannya dalam setiap membaca Al-Qur’an, dapatlah dihitung dengan
jari. Hukum bacaan membaca Al-Qur’an antara lain Ghunnah, Idghom Bi Ghunnah,
Ikhfa’, dan Iqlab.
Empat bacaan di atas, cara membacanya adalah harus ada Ghunnah (tahanan)[5]. Ulama’ tajwid berbeda
pendapat mengenai Ghunnah atau lama tahanan ini, yaitu ada yang berpendapat 2
(dua) harokat dan ada yang berpendapat 2 harokat lebih sedikit agar lebih
menjaga sifat ghunnah. Dan tidak ada satupun Ulama’ yang mengatakan tanpa
tahanan[6].
Tahanan yang saya maksud di atas adalah proses baca yang tidak
boleh langsung ngeloyor menyebut huruf berikutnya, akan tetapi harus ditahan
dulu minimal 2 harokat.
Dalam contoh INNA, cara membacanya adalah IN(NN)NA. Berbeda dengan
ILLA, yang tidak boleh diberi tahanan, sehingga harus terbaca ILLA, karena
bukan ghunnah.
Berikut ini sekedar pengingat untuk menentukan bacaan-bacaan yang
harus disertai tahanan minimal 2 harokat:
1. Ghunnah,
yaitu setiap ada Nun atau Mim Tasydid (نّ - مّ)
Contoh: (إِنَّ)
INNA dibaca IN-NN-NA
2. Idghom
Bi Ghunnah, yaitu setiap ada suara Nun Mati bertemu dengan huruf
ي – ن – م – و
Contoh: (شَرًّا يَّرَه) dibaca :
syarroy-YY-YAROH
3. Ikhfa’,
yaitu setiap ada suara Nun Mati bertemu dengan huruf ikhfa’, atau Mim Mati
bertemu dengan Ba’.
Semua
bacaan Ikhfa’ adalah menyamar-kan suara Nun Mati, kecuali Ikhfa’ A’la[7] dan Ikhfa’ Syafawi. Ikhfa’
A’la adalah apabila ada suara Nun Mati bertemu dengan Ta’, Tho’, atau Dal,
sedangkan Ikhfa’ Syafawi adalah apabila ada Mim Mati bertemu dengan Ba’.
4. Iqlab,
yaitu setiap ada Nun Mati bertemu dengan huruf Ba’, suara Nun Mati tersebut
dibaca Mim Mati. Dalam membaca Iqlab ada 2 versi, yaitu ada yang langsung
membunyikan huruf MIM, dan ada yang dengan membunyikan NUN SUKUN dahulu secara
samar[8].
Empat
bacaan di atas, dalam setiap membacanya harus diberi tahanan minimal 2 harokat,
dan bukan ngeloyor menyebut huruf berikutnya meskipun sudah dibarengi samar
atau penggantian dari Nun Sukun menjadi Mim (dalam bacaan Iqlab).
Adapun
bacaan-bacaan atau hukum-hukum lain bisa mereferensi kitab-kitab klasik yang
lebih detail. Dan demi terjaga dari la’nat Al-Qur’an sekaligus tidak bertindak
sebagai pembaca sesat yang menyesatkan (ضال مضل),
tidak ada salahnya bila kita muroja’ah dan memberi dorongan pada santri
lain/jama’ah untuk berta’allum ilmu tajwid, lalu ditashhihkan pada Ahli Tajwid Mu’tabaroh,
untuk kemudian dibudayakan membaca sesuai kaidah tajwid yang merupakan wahyu
dari Allah SWT.
Selain empat bacaan di atas, ada hal penting lagi yang tak boleh
dilanggar, yaitu dalam hal mad thobi’i dan mad far’iy.
Mad Thobi’i adalah mad yang panjangnya 2x harohat, dan tidak
dibenarkan membunyikan lebih dari 2 harokat. Apabila bacaannya cepat, maka
panjang mad thobi’i ini tetap 2x harokat cepat; demikian pula apabila bacaannya
lambat, mad thobi’i juga dibaca 2x harokat lambat.
Standart hitungan, biasanya setiap guru berbeda dalam
mempresentasikan. Ada yang memakai hitungan jari, ketukan, ataupun gerakan
tangan. Namun semua itu, pada dasarnya adalah sama, yaitu 2x harokat.
Dalam contoh Ladzahaba Bisam’ihim, terdapat 10 harokat, yaitu pada
lafadh Ladzahaba terdapat 4 harokat, dan pada lafadh Bisam’ihim terdapat 6
harokat.
Apabila ketukan/hitungan/gerakan jari atau cara baca yang stabil
dan tepat, maka masing-masing harokat pada kalimah Ladzahaba Bisam’ihim akan
terbaca sama, yaitu tidak ada yang lebih panjang antara harokat yang satu
dengan harokat yang lain. Dan apabila diterapkan, maka yang disebut mad thobi’i
adalah 2x bacaan harokat pada tiap-tiap hurufnya.
Untuk mad-mad yang lain, bisa kembangkan sendiri dalam cara
membacanya, yaitu:
Mad Thobi’i: 2 harokat; Mad Wajib Muttashil : 5 harokat; Mad Jaiz
Munfashil: 5 harokat; Mad Lazim: 6 harokat.
Harapan kita semua, semoga
kita dalam membaca Al-Qur’an tidak berada di kategori Lahn Khofi Yang
Berdosa (Kesalahan pada bacaan yang semestinya kita mampu untuk benar),
apalagi berada di Lahn Jali (Kesalahan fatal pada bacaan, apalagi sampai
dapat mengubah arti atau substansi Al-Qur’an). Andaikata tidak mampu benar,
semoga kita masih berada di kategori Lahn Khofi Ma’fuwun ‘Anhu (Lahn yang ampuni).
Dan seandainya ada perbedaan pendapat mengenai Lahn Khofi atau
Jali, ataupun perbedaan tentang salah-tidaknya bacaan santri pada umumnya,
bukan itu yang terpenting, tetapi sebuah usaha kita untuk bertajwid dan
membudayakan tajwid pada diri sendiri dan masyarakat itulah yang lebih utama.
Referensi:
Syifa’ul Janan, Al-Jazariyah, Fathu Robbil Bariyyah, Iqro’, Qiro’ati, Qur’anah,
Yanbu’a, Ahkamut Tajwid, Ihkamul Ahkam Fi Tajwidil Qur’an, Ta’limu KH. Bashori
Alwi Singosari Malang, Ta’limu KH. Muhsinin Husnan Sarang, Ta’limu KH. Ulil
Abshor Arwani, Kudus.
Bacaan-bacaan
Yang Berpotensi Mengubah Arti, Yang Sering Terjadi Di Masyarakat Tanpa Sengaja:
1.
Ketika membuka suatu acara, ketika
membaca Fatihah, semua Mad yang ada di akhir ayat selalu dibaca pendek.
salah kaprah
|
sebenarnya
|
بسم الله الرحمن
الرحِمْ
|
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
|
الحمد لله
رب العالَمِنْ
|
اَلْحَمْدُ
لله رب العَالَمِيْنَ
|
الرحمن الرحِمْ
|
الرحمن الرحِيْمِ
|
ملك يوم الدِّنْ
|
ملك يوم الدِّيْنِ
|
وإياك نستعِنْ
|
وإياك نستعِيْنُ
|
اهدنا
الصراط المستقِمْ
|
الصراط المستقِيْمَ
|
عليهم ولا الضالِّنْ
|
عليهم ولا الضالِّيْنَ
|
2.
Ketika membaca ayat ini, tidak
menerapkan sifat huruf ta’ dan sin, sehingga berubah menjadi tho’ dan shod, dan
itu berpotensi mengubah arti,
salah kaprah
|
sebenarnya
|
وكطُبه
وَرُصُلِهِ
|
وكتُبه
وَرُسُلِه
|
3.
Ketika membaca Wa’fu Annaa
Waghfir-Lanaa Warhamnaa, selalu memanjangkan bacaan yang pendek, dan itu bisa
mengubah arti.
salah kaprah
|
sebenarnya
|
وَاعْفُوْ
عنَّا واغفر لَانَا
|
وَاعْفُ
عنَّا واغفر لَنَا
|
4.
Memanjangkan BU pada lafadh Hasbu,
mengubah Wakiil menjadi Waakil, dan mengubah Nashiir menjadi Naashir,
salah kaprah
|
sebenarnya
|
حَسْبُوْنَاالله
ونعمَ الوَاكِلْ
|
حَسْبُنَا
الله ونعم الوَكِيْل
|
نعم المولى
ونعم النَّاصِرْ
|
نعم المولى
ونعم النَّصِيْر
|
5.
Selalu mengubah ILLA dalam lafadh
ILLA menjadi ILLO, sehingga berbunyi ILLOLLOH
salah kaprah
|
sebenarnya
|
La
ilaha illOlloh
|
La ilaha illAlloh
|
6.
Mengubah bunyi MU menjadi MO,
dalam lafadh MUhammad, sehingga berbunyi Mohammad.
salah kaprah
|
sebenarnya
|
mOhammad
|
mUhammad,
karena
tulisannya:
مُحمد
|
7.
Mengubah Alif Fathah menjadi O,
dalam lafadh Allohumma, sehingga berbunyi OLLOhumma.
salah kaprah
|
sebenarnya
|
Ollohumma
|
Allohumma
karena
tulisannya:
اَللّهم
(Alif Fathah = A)
|
8.
Mengubah shoLLALLOhu menjadi
shoLLOLLOhu.
salah kaprah
|
sebenarnya
|
shollOllohu
|
shollAllohu,
karena
tulisannya:
صلَّى
الله
(Lam Fathah =
La)
|
9.
Mengubah lafadh adhiim dalam
astaghfirullohal adhim, menjadi aadhim, sehingga berbunyi astaghfirullohal
aadhim.
salah kaprah
|
sebenarnya
|
استغفر الله العَاظِمَ
|
استغفر الله
العَظِيْمَ
|
10. Dan
masih banyak kesalahan-kesalahan yang kaprah terjadi di masyarakat.
*)
Turmudzi, S.H.I.
-
Lulusan MGS, Sarang, 2002.
-
Pernah Belajar di Pesantren Ilmu Qur’an (PIQ) Singosari, Malang, tahun 2000.
-
F. Syari’ah, Institut Agama Islam Al-Aqidah,
Jakarta,
2010.
-
Staf Pengajar Tartilul Qur’an
di
Nurul Amin, Cokrowati.
-
Tinggal di Desa Cokrowati, Tambakboyo.